Rabu, 15 April 2015

CAKAP (BEKWAAN) DAN BERWENANG (BOVOEGD)

PENDAHULUAN
1.      LATAR BELAKANG
Kecakapan  seseorang  bertindak  di  dalam  hukum  atau  untuk  melakukan perbuatan  hukum  ditentukan dari telah  atau belumnya  seseorang  tersebut dikatakan dewasa menurut hukum. Kedewasaan seseorang merupakan tolak ukur dalam  menentukan  apakah  seseorang  tersebut  dapat  atau  belum  dapat  dikatakan cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Kedewasaan seseorang menunjuk  pada  suatu  keadaan  sudah  atau  belum  dewasanya  seseorang  menurut hukum  untuk  dapat  bertindak  di  dalam  hukum  yang  ditentukan  dengan  batasan umur. Sehingga kedewasaan di dalam hukum menjadi syarat agar seseorang dapat dan boleh dinyatakan sebagai  cakap bertindak dalam melakukan segala perbuatan hukum.
  Pembuat undang-undang beranjak dari pemikiran bahwa orang  yang telah mencapai usia tertentu normal dan semestinya sudah bisa menyadari tindakan dan akibat dari tindakannya. Kepastian hukum menuntut adanya suatu patokan  yang pasti, kapan orang dianggap atau  bisa dianggap telah bisa  menyadari akibat dari tindakannya. Hukum perdata di Indonesia sebagai akibat dari warisan  zaman kolonial  dikaitkan dengan golongan penduduk sehingga berlaku bermacam macam patokan umur dewasa bagi masing-masing golongan penduduk. Menurut pasal 2 KUH Perdata manusia menjadi pendukung hak dan kewajiban dalam hukum sejak ia lahir sampai ia meninggal. Tetapi UU menentukan tidak semua orang sebagai pendukung hukum (recht) adalah cakap (bekwaan) adalah kriteria umum yang di hubungkan dengan keaadaan diri seseorang, sedangkan berwenang (bevoegd) merupakan kriteria khusus yang di hubungkan dengan suatu perbuatan atau tindakan tertentu.
Seseorang yang cakap belum tentu berwenang tetapi yang  berwenang sudah pasti cakap. Berdasarkan ketentuan dalam pasal 1330 KUH Perdata maka dapat di  ketahui yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum yaitu :
1.      Orang  yang  belum dewasa
2.      Orang yang di bawah pengampuan
3.      Para istri (tetapi ketidak cakapan istri ini telah di cabut dengan keluarnya UU Nomor 1974 tengtang  perkawinan.

PEMBAHASAN
1.      KECAKAPAN BERBUAT  HUKUM ( HENDELINGS BEKWAANHEID) DAN KEWENANGAN BERTINDAK MENURUT HUKUM ATAU RECTHTS BEVOEGDHEID
UU menentukan bahwa untuk  dapat bertindak dalam hukum, seseorang harus telah cakap dan berwenang. Seseorang dapat di katakan telah cakap dan berwenang, harus memenuhi syarat-syarat yang di tentukan oleh UU yatiu telah dewasa, sehat pikiranya (tidak di bawah pengampuan) sreta tidak bersuami bagi wanita.
Menurut pasal 330 KUH Perdata seseorang telah dewasa apabila telah berumur 21 tahun, dan telah kawin sebelum mencapai umur tersebut. Mengenai kedudukan seseorang istri, sejak keluarnya surat ederan Mahkamah Agung No. 3 tahun  1963, tanggal 5 september 1963 mencabut pasal 108 dan 110 KUH Perdata maka  status sebagai istri tidak lagi mempunyai pengaruh terhadap kecakapan bertindak yang di lakukanya.
Denga kata lainn sejak di cabutnya pasal 108 dan 110 KUH Perdata oleh surat ederan Mahkamah Agung  di atas, maka istri adalah caap bertindak dalam hukum, di samping UU juga telah menetukan bahwa walaupun tidak memenuhi syarat-syarat di atas, seseorang di anggap cakap dan berwenang melakukan perbuatan hukum tertentu. Kecakapan berbuat dam kewengan bertindak menurut hukum ini adalah di  benarkan dalam ketentuan UU itu sendiri, yaitu
1.      Seseorang  anak yang belum dewasa (belum menncapai umur 21 tahun) dapat melakukkan seluruh perbuatan hukum apabila telah berusia 20 tahun dalam telah mendapat surat pernyataan dewasa (venia aetatis) yang di  berikan oleh presiden, setelah menndengar nasihat Mahkama Agung (pasal 419 dan 420 KUH Perdata).
2.      Anak yang berumur 18 tahun dapat melakukan perbuatan hukum tertentu setelah menndaoat surat pernyataan dewasa dari pengadilan, (pasal 426 KUH Perdata).
3.      Seseorang  yang berumur 18 tahun dapat memmbbuuat surat wasiat . (pasal 897 KUH Perdata).
4.      Orang  laki-laki yang telah mencapai umur 15 tahun dan perempuan yang  telah berumur 15 tahun dalam melakukan perkawinan.(pasal 29 KUH Perdata).
5.      Pengakuan anak dapat di lakukan  oleh orang  yang  telah berumur 19 tahun, (pasal 282 KUH Perdata).
6.      Anak yang telah berumur 15 tahun dapat menjadi saksi. (pasal  1912) KUH Perdata).
7.      Seseorang yang  telah di taruh di bawah pengampuan karena boros dapat :
a.       Membuat surat wasiat (paslal 446 KUH Perdata ).
b.      Melakukan perkawinan. (pasal 452 KUH Perdata).
8.      Istri  cakap bertindak dalam hukum dalam hal :
a.       Dituntut dalam perkara pidana, menuntut peerceraian perkawwinan, pemisahan meja dan ranjang  serta menuntut pemisahan harta kekayaan. (pasal 111 KUH Perdata).
b.      Membuat surat wasiat. Pasal (118 KUH Perdata).
    Di  dalam  hukum,  seseorang  dapat  dikatakan cakap bertindak di dalam hukum adalah apabila seseorang  tersebut  telah  dewasa.  Dalam  hukum  perdata Indonesia,  yaitu berdasar  pada  Kitab  Undang-Undang  Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata),  batasan umur dewasa seseorang diatur dalam Pasal 330 yang menentukan bahwa :  “Batasan dewasa adalah mereka yang belum mencapai  umur genap 21  (dua  puluh  satu) tahun, dan  tidak  lebih  dahulu  telah menikah.”  Kecakapan  untuk  membuat  suatu  perjanjian  diatur  dalam  Pasal  1320 KUHPerdata  yang  mengatur  tentang  syarat  sahnya  suatu  perjanjian  menentukan bahwa :Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
·         Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
·           Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
·          Suatu hal tertentu;
·          Suatu sebab yang halal.
Sehingga  berdasarkan Pasal 330  jo 1320  KUHPerdata tersebut maka  seseorang yang  dapat dikatakan dewasa menurut hukum perdata di Indonesia yaitu  telah berumur 21 tahun, dimana dewasa menurut KUHPerdata berarti cakap bertindak dalam hukum.
Sementara  itu  dalam  ketentuan Undang-Undang  Nomor 1 Tahun 1974 tentang  Perkawinan  (selanjutnya  disebut  Undang-undang  Perkawinan)  tentang syarat dewasa  agar  seseorang  telah  dianggap  cakap  bertindak  untuk melangsungkan  perkawinan  adalah  apabila  telah  berusia  18  tahun,  sebagaimana ditentukan dalam Pasal 47 dan Pasal 50, yang berturut-turut menentukan : Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa : “Anak yang belum mencapai 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada  di  bawah  kekuasaan  orang  tuanya  selama  mereka  tidak  dicabut  dari kekuasaannya”. Pasal 50 ayat  (1)  Undang-Undang  Perkawinan  menentukan bahwa : “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali”.
Selanjutnya dalam hukum  agraria,  tentang  batasan  seseorang  dianggap dewasa  dan  cakap  bertindak  di  dalam  hukum  atau  melakukan  perbuatan  hukum adalah sebagaimana tampak dari Surat Nomor Dpt.7/539/7.77 tertanggal  13 Juli 1977 yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional yang menyatakan bahwa, bagi golongan penduduk yang tunduk pada hukum Eropa (mestinya: yang tunduk pada BW) dan golongan penduduk Cina (mestinya Timur Asing Tionghoa ) dan Timur asing bukan Cina, umur dewasa dengan mengacu kepada Staatblaad 1924 : 556 dan Staatblaad  1924:  557 adalah  21 tahun.  Sedangkan  untuk  orang-orang yang tunduk pada hukum adat ditentukan, apabila seorang Notaris atau PPAT mempergunakan  batas  umur  19  atau  20  tahun  untuk  dewasa  maka  hal  itu  dapat diterima sebagai benar.
 Sementara  cakap  bertindak  sebagai  penghadap  dalam  pembuatan  akta notaris  ditentukan  dalam  Pasal  39  ayat  (1)  Undang-Undang  Nomor 30 Tahun 2004 Jo  Undang-Undang  Nomor  2  Tahun  2014  tentang  Perubahan UndangUndang Nomor 30 Tahun  2004  Tentang  Jabatan Notaris  (selanjutnya  disebutUUJN) yang diundangkan pada tanggal 15 Januari 2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2014 Nomor 3 dan dalam Tambahan Lebaran
Negara Republik Indonesia (TLNRI) Tahun 2014 Nomor 5491, yang menentukan bahwa  :  “Penghadap  harus  memenuhi  syarat  sebagai  berikut  :  (a)  paling  rendah telah  berumur  18  tahun  atau  telah  menikah;  (b)  cakap  melakukan  perbuatan hukum”.  Cakap bertindak yang ditentukan oleh Pasal 39 ayat  (1) huruf a  UUJN adalah  18  tahun  sebagai  batasan  umur  kecakapan  penghadap dihadapan  notaris. Notaris dalam  sistem  hukum  di  Indonesia  diberi  wewenang  dan  tugas  untuk membuat  akta  otentik dan mencatatkan berbagai  perbuatan-perbuatan hukum dalam bentuk perjanjian-perjanjian dibuat di bawah tangan  serta  mengesahkan surat-surat/dokumen-dokumen  agar  mempunyai  nilai  dan  kekuatan  sebagai  alat bukti.
Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja (bersegi satu) maupun yang dilakukan dua pihak (bersegi  dua),  demikian  pula  dikatakan  oleh  Chainur  Arrasjid  bahwa  perbuatan hukum terdiri dari 2 (dua), yaitu :
·         Perbuatan hukum sepihak :Yaitu  perbuatan  hukum  yang  dilaksanakan  oleh  satu  pihak saja dan menimbulkan hak  dan  kewajiban  pada  satu  pihak  pula.  Misalnya pembuatan surat wasiat dan pemberian suatu benda (hibah).
·         Perbuatan hukum dua pihak :Yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak dan menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kedua pihak  (timbal  balik). Misalnya membuat persetujuan jual beli, sewa menyewa dan lain-lain.

Di antara perbuatan-perbuatan hukum tersebut seperti  membuat  :  surat wasiat, perjanjian sewa-menyewa, pengikatan jual beli dan pemberian kuasa menjual atas sebidang  tanah  hak  milik,perjanjian hutang-piutang dan lainnya. Dalam hal perbuatan hukum bersegi dua, dalam  lalu lintas hukum dikenal dengan membuat perjanjian.

Perjanjian menurut Subekti merupakan suatu peristiwa  dimana  seseorang berjanji  kepada  orang  lain  atau  di  mana  2  (dua)  orang  itu  saling  berjanji  untuk melaksanakan sesuatu hal,  yang dalam bentuknya perjanjian itu dapat dilakukan sebagai suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan secara lisan maupun  tertulis.

Demikian juga dengan Sudikno Mertokusuma mengatakan perjanjian merupakan  hubungan  hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan  konsekuensi yuridis.

Berdasarkan  pada  pendapat  diatas  suatu  perjanjian  merupakan  suatu hubungan hukum antara dua pihak, saling berjanji dan mengikatkan dirinya untuk melakukan atau berbuat sesuatu dalam mana salah satu pihak berhak atas prestasi yang dilakukan oleh pihak  lainnya, sedangkan  pihak  lain  berkewajiban  untuk melakukan hal tersebut dengan disertai sanksi.
Perjanjian  diatur  dalam  buku  II  tentang  Perikatan  yang  menamai  dengan persetujuan,  Pasal 1313 KUHPerdata  menentukan bahwa  “Suatu  persetujuan adalah  perbuatan  dengan  mana  satu  orang  atau  lebih  mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Dalam suatu perjanjian mempunyai unsu-runsur, yaitu unsur  essensialia  yaitu unsur  yang  bersifat mutlak harus ada dalam suatu  perjanjian dimana  tanpa  adanya  unsur  tersebut,  perjanjian  tidak  mungkin ada. Kemudian unsur naturalia  untuk perjanjian yang oleh undang-undang diatur tetapi oleh para pihak  dapat disingkirkan  atau  diganti  sedangkan  unsur accidentalia  merupakan  unsur  perjanjian yang ditambahkan  oleh  para  pihak sementara undang-undang sendiri  tidak  mengatur tentang  hal  tersebut. Keseluruhan unsur-unsur yang terkadung dalam suatu perjanjian, oleh Pasal 1320 KUHPerdata ditentukan sebagai syarat sahnya suatu perjanjian.
 Perjanjian  dapat  dibuat  secara  lisan  dan  secara  tertulis.  Perjanjian  tertulis dapat  pula  dibedakan  antara  perjanjian  yang  dibuat   dibawah  tangan  dan  dibuat secara  otentik.  Suatu  perjanjian  dibuat  secara  otentik  yang  lazimnya  disebut dengan  akta  otentik,  merupakan  suatu  perjanjian  tertulis  yang  dibuat  dengan memenuhi ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata,  yang menentukan bahwa “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undangundang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu,  dan  di  tempat  dimana  akta  itu  dibuatnya”,  sehingga  suatu  perjanjian  yang dibuat  secara  otentik  merupakan  suatu  perjanjian  tertulis  yang  dibuat  dihadapan dan/atau oleh pejabat umum  yang berwenang untuk itu,  dan  dalam bentuk  yang ditentukan oleh undang-undang dan dibuat di wilayah kewenangan pejabat umum yang  berwenang  membuat  akta  tersebut.  Sebaliknya  suatu  perjanjian  di  bawah
tangan yang lazim juga disebut akta di bawah tangan merupakan perjanjian yang dibuat  oleh  para  pihak  tanpa  bantuan  pejabat  umum  yang  berwenang  untuk membuat suatu perjanjian. Kedudukan masing-masing akta tersebut berbeda satu dengan  yang  lainnya.  Suatu  akta  otentik  kedudukannya  sebagai  alat  bukti  yang mempunyai kekuatan sebagai alat bukti sempurna, artinya sebagai alat bukti suatu akta  otentik  tidak  memerlukan  alat  bukti  lain  untuk  membuktikan  sesuatu peristiwa atau perbuatan hukum. Sementara akta di bawah tangan kedudukannya sebagai  alat  bukti  yang  tidak  mempunyai  kekuatan  pembuktian  sempurna,  oleh karenanya kedudukannya sangat tergantung pada alat bukti lain seperti pengakuan dari  pihak-pihak  yang  membuat  perjanjian,  yang  mengakui  atau  menyatakan bahwa perjanjian tersebut benar adanya.

Salah  satu  akta  otentik  adalah  akta  yang  dibuat  dihadapan  dan/atau  oleh notaris  sebagai  pejabat  umum  sebagaimana  dimaksud  ketentuan  Pasal  1868 KUHPerdata.  Suatu  akta  notaris  sebagai  akta  otentik,  selain  harus  dibuat memenuhi ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata seperti di atas juga harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana ditentukan Pasal 1320 KUHPerdata. Sebab akta notaris sebagai akta otentik pada umumnya merupakan perjanjian yang dengan  sengaja  dibuat  oleh  para  pihak  agar  mempunyai  kekuatan  pembuktian sempurna.  Oleh  karenanya,  perjanjian-perjanjian  yang  dibuat  dalam  bentuk  akta notaris harus memenuhi syarat yaitu : (1) para pihak telah sepakat tentang hal-hal yang diperjanjikan dalam akta; (2) para pihak yang membuat akta adalah mereka yang  telah  memenuhi  kriteria  cakap  bertindak  menurut  hukum;  (3)  obyek  yang diperjanjikan  di  dalam  akta  sebagai  obyek  perjanjian  merupakan  sesuatu  hal tertentu; dan (4) perjanjian yang dibuat dan dituangkan dalam bentuk akta notaris lahir dari suatu sebab yang halal atau obyek perjanjian dalam akta notaris bukan merupakan  obyek  yang  dilarang  oleh  peraturan  perundang-undangan  yang berlaku,  oleh  norma  agama,  norma  kesusila  maupun  norma-norma  kepatutan lainnya. Dari  keseluruhan  syarat  sah  dibuatnya  akta  notaris  seperti  di  atas,  salah satunya  yang  hendak  dikaji  dalam  tulisan  ini  adalah  tentang  syarat  para  pihak yang  membuat  akta  notaris  adalah  mereka  yang  telah  memenuhi  kriteria  cakap bertindak  menurut  hukum  atau  yang  dalam  ketentuan  Pasal  1320  KUHPerdata disebut  sebagai  syarat  cakap  mereka  yang  mengikatkan  dirinya.  Dalam  UUJNtentang  hal  diatur  dalam  ketentuan  Pasal  39    ayat  1  huruf  a  dan  b  yang menentukan  bahwa  :  “(a)  paling  rendah  telah  berumur  18  tahun  atau  telah menikah;  (b)  cakap  melakukan  perbuatan  hukum”.  Dari  kedua  syarat  yang dimaksud  dalam  ketentuan  tersebut,  syarat  huruf  b  yang  menentukan  cakap melakukan perbuatan merupakan ketentuan yang tumpang tindih kalau tidak mau disebut sebagai konflik norma dengan ketentuan huruf a untuk dapatnya seseorang dikatakan  memenuhi  syarat  sebagai  penghadap  atau  yang  dalam  praktek kenotarisan  disebut  dengan  istilah  komparan,  karena  para  penghadap  yang bertindak sebagai pihak-pihak yang membuat akta notaris disebut dengan istilah komparisi,  sehingga  dapat  mengaburkan  makna  dari  norma  yang  terkandung dalam  huruf  a.  Dikatakan  demikian  karena  menurut  hemat  penulis,  ketentuan huruf  a  dimaksudkan  sebagai  ketentuan  normatif  yang  menjelaskan  dengan menentukan  batasan  umur  seseorang,  yakni  18  tahun  atau  telah  menikah  untuk dapat atau tidak dapatnya seseorang bertindak dalam akta notaris. Norma dalam ketentuan  huruf  a  tersebut  bertujuan  menjelaskan  sekaligus  memberi  batasan secara limitatif usia seseorang untuk dapat sebagai komparan yang secara yuridis menjadi legitimasi kepada seseorang telah cakap bertindak di dalam hukum atau cakap  melakukan  perbuatan  hukum.   Dengan  adanya  ketentuan  huruf  b  yang mensyaratkan  seseorang  dapat  bertindak  sebagai  penghadap/komparan  adalah mereka yang cakap melakukan perbuatan hukum menjadikan ketentuan Pasal 39 ayat  (1)  menjadi  kabur,  karena  sekali  lagi,  terhadapnya  memerlukan  penjelasan atau  kajian  tentang  apa  kriteria  dan  keadaan  bagaimana  seseorang  agar  dapat dikatakan dan memenuhi syarat cakap melakukan perbuatan hukum tersebut.

Kecakapan  bertindak  merupakan  kewenangan  umum  untuk  melakukan tindakan  hukum.  Setelah  manusia  dinyatakan  mempunyai  kewenangan  hukum maka selanjutnya kepada mereka diberikan kewenangan untuk melaksanakan hak dan  kewajibannya  oleh  karenanya  diberikan  kecakapan  bertindak.  Di  satu  sisi, manusia  adalah  subyek  hukum  sebagai  pengemban  hak  dan  kewajiban  hukum yang  kemudian  diejawantahkan  ke  dalam  bentuk  kewenangan  hukum.  Terkait dengan  hak  terdapat  kewenangan  untuk  menerima,  sedangkan  terkait  dengan kewajiban  terdapat  kewenangan  untuk  bertindak  (disebut  juga  kewenangan bertindak).Kewenangan  hukum  dimiliki  oleh  semua  manusia  sebagai  subyek hukum, sedangkan kewenangan bertindak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya faktor usia, status (menikah atau belum), status sebagai ahli waris, dan lain-lain.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1329 KUHPerdata yang menentukan bahwa :
“Setiap  orang  adalah  cakap  untuk  membuat  perikatan-perikatan,  jika  ia  oleh undang-undang tidak dinyatakan cakap”. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa kecakapan bertindak berlaku bagi semua orang, setiap orang pada asasnya cakap untuk bertindak, kecuali undang-undang menentukan lain. Kecakapan bertindak (handelingsbekwaamheid)  adalah  kewenangan  umum, yang dipunyai oleh persoon pada umumnya,  untuk  melakukan  tindakan  hukum  pada  umumnya. Sehingga  untuk  mampu  membuat  suatu  perjanjian,  oleh  karenanya  dipandang telah  dewasa  sehingga   tidak  dibawah  pengawasan  karena  perilaku  yang  tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang membuat suatu perjanjian.
 Cakap  tidaknya  seseorang  bertindak  di  dalam  hukum  dapat  pula dihubungkan dengan keadaan diri seseorang, yaitu seorang telah dewasa atau akil balik,  sehat  jasmani  maupun  rohani,  dianggap  cakap  menurut  hukum  sehingga dapat untuk melakukan tindakan hukum atau membuat suatu perjanjian.

Selain  faktor  kedewasaan  yang  ditentukan  oleh  umur  juga  oleh  faktor  lain seperti status menikah yang dapat mempengaruhi kecakapan bertindak seseorang di dalam hukum. Menurut hukumyang berlaku saat ini, setiap orang tanpa kecuali memiliki hak-haknya, selain itu dalam hukum juga ditentukan bahwa tidak semua orang  diperbolehkan  melakukan  perbuatan  hukum  sendiri  dalam  melaksanakan hak-haknya.  Sebab  terdapat  beberapa  golongan  orang  yang  oleh  hukum dinyatakan  tidak  cakap  untuk  melakukan  perbuatan  hukum  sendiri  sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata menyatakan bahwa :Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :
·         Orang yang belum dewasa;
·          Orang yang ditaruh di bawah pengampuan;
·          Orang-orang  perempuan,  dalam  hal-hal  yang  ditetapkan  oleh  Undangundang,  dan  pada  umumnya  semua  orang  kepada  siapa  undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Dari deskripsi di atas, ternyata bahwa kedewasaan dan kecakapan menjadi penting  ketika  dihadapkan  pada  syarat  sahnya  subyek  hukum  dalam  melakukan perjanjian dalam bentuk tertulis secara otentik dalam suatu akta notaris, karena hal  tersebut  berkorelasi  pada  kepastian,  ketertiban  dan  perlindungan  hukum sebagaimana tujuan hukum pada umumnya. Sedangkan dalam lalu lintas hukum pembuktian  khususnya,  hal  tersebut  diperlukan  oleh  karena  akta  notaris  sebagai akta  otentik  diharapkan  menjadi  alat  bukti  kuat  yang  menentukan  dengan  jelas hak dan kewajiban seseorang dalam suatu perjanjian yang dibuatnya. Hal tersebut semakin  menjadi  kebutuhan  masyarakat  modern  yang  senantiasa  menghendaki adanya  pendokumentasian  terhadap  peristiwa/perbuatan  hukum  yangdilakukannya.

Notaris sebagai sebuah jabatan yang ditugaskan dan diberi wewenang untuk mewujudkan  tujuan  hukum  atau  kebutuhan  hukum  pembuktian  seperti  tersebut, memegang  peranan  penting  sehingga  segala  kegiatan  ekonomi  seperti  di  bidang perbankan,  pertanahan,  maupun  kegiatan  sosial  lainnya  yang  membutuhkan kehadiran jabatan notaris dapat berjalan sesuai dengan norma-norma atau kaedahkaedah hukum yang berlaku.  Sehingga berbagai hubungan atau perbuatan hukum yang dilakukan oleh setiap orang bertujuan untuk memberi jaminan dan kepatian hukum yang dalam sistem hukum hanya dapat dituangkan di dalam akta notaris, menempatkan notaris sebagai pejabat tempat seseorang dapat memperoleh nasihat yang dapat diandalkan dan segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkannya adalah benar, ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.

Berdasarkan uraian di atas memberikan gambaran bahwaperbedaan batasan usia  dewasa  sebagai  syarat  agar  dapat  dikatagorikan  cakap  bertindak  di  dalam hukum  atau  dapat  dikatakan  sebagai  cakap  dalam  melakukan  perbuatan  hukum, selain  berimplikasi  dan  membawa  konsekuensi  yuridis  terhadap  sah  atau  tidak sahnya seseorang berkedudukan menjadi subyek hukum sebagai pengemban hak dan kewajiban hukum berikut sah atau tidak sahnya segala tindakan-tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukannya. Juga berimplikasi terhadap sah atau tidak sahnya  kedudukan  seseorang  sebagai  pengahadap/komparan  dalam  suatu  akta notaris  berikut  berkonsekuensi  yuridis  terhadap  kekuatan  hukum  daripada  akta notaris sebagai akta otentik yang dibuatnya.  Implikasi hukum yang dapat timbul dari konflik norma di atas adalah sebagai berikut:
Pertama,  bagaimanakah  pengaturan  tentang  kecakapan  batasan  umur bertindak  seseorang  dalam  pembuatan  akta  notaris  yang  mengandung  peralihan hak atas tanah?
 Kedua,  bagaimana  keberadaan  atau  kedudukan  kecakapan  batasan  umur dalam akta notaris yang mengandung peralihan hak atas tanah?
Dengan  kata  lain,  perbedaan  pengaturan  hukum  tentang  kedewasaan seseorang dalam berbagai ketentuan di atas, dapat memicu timbulnya perbedaan persepsi  yang  menjadi  masalah  hukum  terutama  dalam  praktek  dibuatnya  akta notaris  yang   pada  akhirnya  melahirkan  ketidakpastian  hukum  atau  kurang memberi  perlindungan  hukum  bagi  pihak-pihak  yang  memperoleh  hak  dariperbuatan hukum akta notaris. Padahal akta notaris sebagai akta otentik berisikan hubungan hukum yang dilakukan dan sekaligus mengatur antara orang yang satu dengan orang yang lain dan mungkin antara orang dengan masyarakat, atau antara masyarakat  yang  satu  dengan  yang  lain.  Karena  dalam  suatu  hubungan  hukum, para  pihak  masing-masing  memiliki  hak  dan  kewajiban  yang  diberikan  oleh hukum,  yaitu  pihak  yang  satu  berhak  menuntut  sesuatu  dan  pihak  lain  wajib memenuhi tuntutan tersebut dan hak ini berlaku sebaliknya secara timbal balik.
2.       CAKAP TAPI TIDAK BERWENANG
Seseorang yang telah cakap menurut hukum mempunya wewenang bertindak dalam hukum. Tetapi di samping itu UU menentukan beberapa perbuatan yang tidak berwenang di lakukan oleh orang  cakap tertentu.
1.      Tidak boleh mengadakan jual beli antar suami istri (pasal 1467 KUH perdata) disini suami adalah cakap,  tapi tidak berwenang menjual apa saja kepada istrinya.
2.      Larangan kepada pejabat umum (hakim, jaksa, panitera, advocat, juru sita, notaris) untuk menjadi pemilik kareana penyerahan hak-hak, tuntutan-tuntutan yang  sedang dalam perkara (pasal 1468 KUH Perdata).
3.      Apabila hakim terikat hubungan keluarga  sedarah atau semenda dengan ketua, seorang hakim anggota, jaksa, penasihat hukum, panitera, dalam suatu  perkara tertentu ia wajib mengunndurkan diri dari pemeriksaan perkara itu, begitu pula ketua, hakim anggota, jaksa panitera, terikat  hubungan keluarga dengan yang di adili ia wajib mengundurkan diri. (pasal 28 UU. No.14/1970).

 :

Contoh kasus :
Dapatkah suatu perjanjian yang di buat  oleh seorang direktur suatu cv yang masih berusia 18 tahun di minyakan pembatalan ?
Jawaban:
Permintaan pembatalan tersebut dapat dilakukan, karena KUHPerdata telah mengtur secara jelas tengtang sahnya suatu perjanjian tersbut terdapat di dalam pasal 1320 KUHPerdata, yaitu, “untuk sahnya suatu perjanjian dilakukan empat syarat, yakni:
1.      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3.      Suatu hal tertentu
4.      Suatu sebab yang  halal
Di dalam kasus ini unsur-unsur dari pasal 1320 tidak dapat di penuhi. Tidak dapat di penuhi yang di maksud adalah kecakapan untuk membuat suatu perikatan, bhwa umur seseorang direktur cv tersebut asih 18 tahun dan di anggap tidak cakap.
Pengertian cakap di maksud terdapat pada pasal 1330 KUHPerdata yang isinya sebagai berikut :
1.      Orang-orang yang belum dewasa
2.      Mereka yang sedang di taruh di bawah pengampuan
3.      Perempuan, dalam hal-hal yang di terapkan dalam UU dan pada umumnya semua orang kepada siapa UU telah melarang membuuat perjanjian-perjanjian tertentu, di dalam pasal 1320 dan 1330, kita belum menemukan batasan umur yang di maksud.
Dalam hal ini aakn di jawab oleh pasal 330 KUHPerdata tentang pengertian belum dewasa pada pasal 1330 KUHPerdata, yang berisi sebagai berikut :
pasal 330 KUHPerdata
belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin”
Ø  Apabila perkawinan itu di bubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.
Ø  Dalam paham perkawinan tidaklah termasuk anak-anak.
Jelaslah bahwa perjanjian yang  di buat oleh direktur CV tersebut dapat di batalkan, secara singkat dapat di jelaskan sebagi berikut :
Ø  18 tahun = tidak cakap
Ø  Tidak cakap = belum dewasa
Ø  Belum dewasa = belum mencapai umur genap 21 tahun

Orang yang tidak cakap dalam kategori pengampuan
Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum, karena dianggap tidak cakap maka guna menjamin dan melindungi hak-haknya, hukum memperkenan seseorang untuk dapat bertindak sebagai wakil dari orang yang berada dibawah pengampuan.
Pengampuan diatur dalam buku I KUHPerdata. Adapun syarat-syarat seseorang berada dibawah pengampuan adalah sebagaimana diatur dan dimaksud Pasal 433 KUHPerdata :
“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan”
Berdasarkan ketentuan Pasal 433 di atas jelas dan tegas, kondisi sakit jiwa, permanen atau tidak, merupakan hal yang mutlak seseorang dapat ditempatkan dibawah pengampuan. Namun demikian, orang yang suka berfoya-foya pun dapat dimintakan pengampuan.
Siapa saja yang berhak meminta dan dapat ditetapkan sebagai pemegang hak pengampuan ? Pasal 434 KUHPerdata menjelaskan secara tegas bahwasanya Setiap keluarga sedarah berhak minta pengampuan keluarga sedarahnya berdasarkan keadaan dungu, gila atau mata gelap. Disebabkan karena pemborosan, pengampuan hanya dapat diminta oleh para keluarga sedarah dalam garis lurus, dan oleh mereka dalam garis samping sampai derajat keempat. Barang siapa karena lemah akal pikirannya, merasa tidak cakap mengurus kepentingan sendiri dengan baik, dapat minta pengampuan bagi dirinya sendiri.
Jadi, sesuai dengan ketentuan Pasal 434 KUHPerdata, tidak semua orang dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai pemegang hak pengampuan. Hukum mensyaratkan hanya orang yang memiliki hubungan darah saja yang dapat mengajukan dan ditetapkan sebagai pemegang hak pengampuan. Bahkan terhadap saudara semenda (hubungan persaudaraan karena tali perkawinan) pun, hukum tetap mengutamakan orang yang memiliki hubungan darah sebagai pemegang hak pengampuan.
Dalam menetapkan seseorang diletakkan pengampuan, Pengadilan Negeri terikat dan harus tunduk pada ketentuan pasal-pasal sebagai berikut :
Pasal 438 KUHPerdata : Bila Pengadilan Negeri berpendapat, bahwa peristiwa-peristiwa itu cukup penting guna mendasarkan suatu pengampuan, maka perlu didengar para keluarga sedarah atau semenda.
Pasal 439 KUHPerdata : Pangadilan Negeri setelah mendengar atau memanggil dengan sah orang-orang tersebut dalam pasal yang lalu, harus mendengar pula orang yang dimintakan pengampuan, bila orang itu tidak mampu untuk datang, maka pemeriksaan harus dilangsungkan di rumahnya oleh seorang atau beberapa orang Hakim yang diangkat untuk itu, disertai oleh panitera, dan dalam segala hal dihadiri oleh jawatan Kejaksaan.
Bila rumah orang yang dimintakan pengampuan itu terletak dalam jarak sepuluh pal dari Pengadilan Negeri, maka pemeriksaan dapat dilimpahkan kepada kepala pemerintahan setempat. Dan pemeriksaan ini, yang tidak perlu dihadiri jawatan Kejaksaan, harus dibuat berita acara yang salinan otentiknya dikirimkan kepada Pengadilan Negeri.
Pemeriksaan tidak akan berlangsung sebelum kepada yang dimintakan pengampuan itu diberitahukan isi surat permintaan dan laporan yang memuat pendapat dari anggota-anggota keluarga sedarah.
Pasal 440 KUHPerdata : Bila Pengadilan Negeri, setelah mendengar atau memanggil dengan sah keluarga sedarah atau semenda, dan setelah mendengar pula orang yang dimintakan pengampuan, berpendapat bahwa telah cukup keterangan yang diperoleh, maka Pengadilan dapat memberi keputusantentang surat permintaan itu tanpa tata cara lebih lanjut, dalam hal yang sebaliknya, Pengadilan Negeri harus memerintahkan pemeriksaan saksi-saksi agar peristiwa-peristiwa yang dikemukakannya menjadi jelas.
Pasal 441 KUHPerdata : Setelah mengadakan pemeriksaan tersebut dalam Pasal 439, bila ada alasan, Pengadilan Negeri dapat mengangkat seorang pengurus sementara untuk mengurus pribadi dan barang-barang orang yang dimintakan pengampuannya.
Pasal 442 KUHPerdata : Putusan atas suatu permintaan akan pengampuan harus diucapkan dalam sidang terbuka, setelah mendengar atau memanggil dengan sah semua pihak dan berdasarkan kesimpulan Jaksa
Cakap dalam kategori pendawasaan
Pendewasaan ini ada 2 macam, yaitu pendewasaan penuh dan pendewasaan untuk beberapa perbuatan hukum tertentu (terbatas). Keduanya harus memenuhi syarat yang ditetapkan undang-undang. Untuk pendewasaan penuh syaratnya telah berumur 20 tahun penuh. Sedangkan untuk pendewasaan terbatas syaratnya ialah sudah berumur 18 tahun penuh (pasal 421 dan 426 KUHPerdata).
Untuk pendewasaan penuh, prosedurnya ialah yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Presiden RI dilampiri dengan akta kelahiran atau surat bukti lainnya. Presiden setelah mendengar pertimbangan Mahkamah Agung, memberikan keputusannya. Akibat hukum adanya pernyataan pendewasaan penuh ialah status hukum yang bersangkutan sama dengan status hukum orang dewasa. Tetapi bila ingin melangsungkan perkawinan ijin orang tua tetap diperlukan.
Untuk pendewasaan terbatas, prosedurnya ialah yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang dilampiri akta kelahiran atau surat bukti lainnya. Pengadilan setelah mendengar keterangan orang tua atau wali yang bersangkutan, memberikan ketetapan pernyataan dewasa dalam perbuatan-perbuatan hukum tertentu saja sesuai dengan yang dimohonkan, misalnya perbuatan mengurus dan menjalankan perusahaan, membuat surat wasiat. Akibat hukum pernyataan dewasa terbatas ialah status hukum yang bersangkutan sama dengan status hukum orang dewasa untuk perbuatan-perbuatan hukum tertentu.
Dalam hukum Perdata, belum dewasa adalah belum berumur umur 21 tahun dan belum pernah kawin. Apabila mereka yang kawin belum berumur 21 tahun itu bercerai, mereka tidak kembali lagi dalam keadaan belum dewasa. Perkawinan membawa serta bahwa yang kawin itu menjadi dewasa dan kedewasaan itu berlangsung seterusnya walaupun perkawinan putus sebelum yang kawin itu mencapai umur 21 tahun (pasal 330 KUHPerdata).
Hukum perdata memberikan pengecualian-pengecualian tentang usia belum dewasa yaitu, sejak berumur 18 tahun seorang yang belum dewasa, melalui pernyataan dewasa, dapat diberikan wewenang tertentu yang hanya melekat pada orang dewasa. Seorang yang belum dewasa dan telah berumur 18 tahun kini atas permohonan, dapat dinyatakan dewasa harus tidak bertentangan dengan kehendak orang tua.
Dari uraian tersebut kita lihat bahwa seorang yang telah dewasa dianggap mampu berbuat karena memiliki daya yuridis atas kehendaknya sehingga dapat pula menentukan keadaan hukum bagi dirinya sendiri. Undang-undang menyatakan bahwa orang yang telah dewasa telah dapat memperhitungkan luasnya akibat daripada pernyataan kehendaknya dalam suatu perbuatan hukum, misalnya membuat perjanjian, membuat surat wasiat.
Bila hakim berpendapat bila seseorang dinyatakan dewasa maka ia harus menentukan secara tegas wewenang apa saja yang diberikan itu. Setelah memperoleh pernyataan itu, seorang yang belum dewasa, sehubungan dengan wewenang yang diberikan, dapat bertindak sebagai pihak dalam acara perdata dengan domisilinya. Bila ia menyalahgunakan wewenang yang diberikan maka atas permintaan orang tua atau wali, pernyataan dewasa itu dicabut oleh hakim
KESIMPULAN
Ketidakseragaman batasan usia dewasa atau batasan usia anak pada berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia memang kerap menimbulkan pertanyaan mengenai batasan yang mana yang seharusnya digunakan. Berikut di bawah ini beberapa pengaturan batasan usia anak dan dewasa menurut peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia yang kami sarikan dari buku Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur (Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Batasan Umur) terbitan NLRP.







Tabel 1: Umur Anak/belum dewasa

Dasar Hukum
Pasal
Pasal 330
Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya.
Pasal 47
Anak yang dimaksud dalam UU Perkawinan adalah yang belum mencapai 18 tahun.
Pasal 1 angka 26
Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun
Pasal 1 angka 8
Anak didik pemasyarakatan adalah:
a.      Anak pidana, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
b.      Anak negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
c.       Anak sipil, yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
Pasal 1
Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan)  tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin
Pasal 1 angka 5
Anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
Pasal 1 ayat (1)
Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Pasal 1 ayat (4)
Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun.
Pasal 4
Warga Negara Indonesia adalah: a–g ...
anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin.
Pasal 1 angka 5
Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.






Tabel 2: Umur Dewasa
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar