PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Kecakapan seseorang
bertindak di dalam
hukum atau untuk
melakukan perbuatan hukum ditentukan dari telah atau belumnya
seseorang tersebut dikatakan
dewasa menurut hukum. Kedewasaan seseorang merupakan tolak ukur dalam menentukan
apakah seseorang tersebut
dapat atau belum
dapat dikatakan cakap bertindak
untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Kedewasaan seseorang menunjuk pada
suatu keadaan sudah
atau belum dewasanya
seseorang menurut hukum untuk
dapat bertindak di
dalam hukum yang
ditentukan dengan batasan umur. Sehingga kedewasaan di dalam
hukum menjadi syarat agar seseorang dapat dan boleh dinyatakan sebagai cakap bertindak dalam melakukan segala
perbuatan hukum.
Pembuat undang-undang beranjak dari pemikiran
bahwa orang yang telah mencapai usia
tertentu normal dan semestinya sudah bisa menyadari tindakan dan akibat dari
tindakannya. Kepastian hukum menuntut adanya suatu patokan yang pasti, kapan orang dianggap atau bisa dianggap telah bisa menyadari akibat dari tindakannya. Hukum
perdata di Indonesia sebagai akibat dari warisan zaman kolonial dikaitkan dengan golongan penduduk sehingga
berlaku bermacam macam patokan umur dewasa bagi masing-masing golongan penduduk.
Menurut pasal 2 KUH Perdata manusia menjadi pendukung hak dan kewajiban dalam
hukum sejak ia lahir sampai ia meninggal. Tetapi UU menentukan tidak semua
orang sebagai pendukung hukum (recht) adalah cakap (bekwaan) adalah kriteria
umum yang di hubungkan dengan keaadaan diri seseorang, sedangkan berwenang
(bevoegd) merupakan kriteria khusus yang di hubungkan dengan suatu perbuatan
atau tindakan tertentu.
Seseorang
yang cakap belum tentu berwenang tetapi yang
berwenang sudah pasti cakap. Berdasarkan ketentuan dalam pasal 1330 KUH
Perdata maka dapat di ketahui yang tidak
cakap melakukan perbuatan hukum yaitu :
1. Orang yang
belum dewasa
2. Orang
yang di bawah pengampuan
3. Para
istri (tetapi ketidak cakapan istri ini telah di cabut dengan keluarnya UU
Nomor 1974 tengtang perkawinan.
PEMBAHASAN
1. KECAKAPAN BERBUAT HUKUM ( HENDELINGS BEKWAANHEID) DAN
KEWENANGAN BERTINDAK MENURUT HUKUM ATAU RECTHTS BEVOEGDHEID
UU
menentukan bahwa untuk dapat bertindak
dalam hukum, seseorang harus telah cakap dan berwenang. Seseorang dapat di
katakan telah cakap dan berwenang, harus memenuhi syarat-syarat yang di
tentukan oleh UU yatiu telah dewasa, sehat pikiranya (tidak di bawah
pengampuan) sreta tidak bersuami bagi wanita.
Menurut
pasal 330 KUH Perdata seseorang telah dewasa apabila telah berumur 21 tahun,
dan telah kawin sebelum mencapai umur tersebut. Mengenai kedudukan seseorang
istri, sejak keluarnya surat ederan Mahkamah Agung No. 3 tahun 1963, tanggal 5 september 1963 mencabut pasal
108 dan 110 KUH Perdata maka status sebagai
istri tidak lagi mempunyai pengaruh terhadap kecakapan bertindak yang di
lakukanya.
Denga
kata lainn sejak di cabutnya pasal 108 dan 110 KUH Perdata oleh surat ederan
Mahkamah Agung di atas, maka istri
adalah caap bertindak dalam hukum, di samping UU juga telah menetukan bahwa
walaupun tidak memenuhi syarat-syarat di atas, seseorang di anggap cakap dan
berwenang melakukan perbuatan hukum tertentu. Kecakapan berbuat dam kewengan
bertindak menurut hukum ini adalah di
benarkan dalam ketentuan UU itu sendiri, yaitu
1. Seseorang anak yang belum dewasa (belum menncapai umur
21 tahun) dapat melakukkan seluruh perbuatan hukum apabila telah berusia 20
tahun dalam telah mendapat surat pernyataan dewasa (venia aetatis) yang di berikan oleh presiden, setelah menndengar
nasihat Mahkama Agung (pasal 419 dan 420 KUH Perdata).
2. Anak
yang berumur 18 tahun dapat melakukan perbuatan hukum tertentu setelah
menndaoat surat pernyataan dewasa dari pengadilan, (pasal 426 KUH Perdata).
3. Seseorang yang berumur 18 tahun dapat memmbbuuat surat
wasiat . (pasal 897 KUH Perdata).
4. Orang laki-laki yang telah mencapai umur 15 tahun
dan perempuan yang telah berumur 15
tahun dalam melakukan perkawinan.(pasal 29 KUH Perdata).
5. Pengakuan
anak dapat di lakukan oleh orang yang
telah berumur 19 tahun, (pasal 282 KUH Perdata).
6. Anak
yang telah berumur 15 tahun dapat menjadi saksi. (pasal 1912) KUH Perdata).
7. Seseorang
yang telah di taruh di bawah pengampuan
karena boros dapat :
a. Membuat
surat wasiat (paslal 446 KUH Perdata ).
b. Melakukan
perkawinan. (pasal 452 KUH Perdata).
8. Istri cakap bertindak dalam hukum dalam hal :
a. Dituntut
dalam perkara pidana, menuntut peerceraian perkawwinan, pemisahan meja dan
ranjang serta menuntut pemisahan harta
kekayaan. (pasal 111 KUH Perdata).
b. Membuat
surat wasiat. Pasal (118 KUH Perdata).
Di
dalam hukum, seseorang
dapat dikatakan cakap bertindak
di dalam hukum adalah apabila seseorang
tersebut telah dewasa.
Dalam hukum perdata Indonesia, yaitu berdasar pada
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut
KUHPerdata), batasan umur dewasa
seseorang diatur dalam Pasal 330 yang menentukan bahwa : “Batasan dewasa adalah mereka yang belum
mencapai umur genap 21 (dua
puluh satu) tahun, dan tidak
lebih dahulu telah menikah.” Kecakapan
untuk membuat suatu
perjanjian diatur dalam
Pasal 1320 KUHPerdata yang
mengatur tentang syarat
sahnya suatu perjanjian
menentukan bahwa :Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat
:
·
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
·
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
·
Suatu hal tertentu;
·
Suatu sebab yang halal.
Sehingga berdasarkan Pasal 330 jo 1320
KUHPerdata tersebut maka
seseorang yang dapat dikatakan
dewasa menurut hukum perdata di Indonesia yaitu
telah berumur 21 tahun, dimana dewasa menurut KUHPerdata berarti cakap
bertindak dalam hukum.
Sementara itu
dalam ketentuan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan (selanjutnya
disebut Undang-undang Perkawinan)
tentang syarat dewasa agar seseorang
telah dianggap cakap
bertindak untuk melangsungkan perkawinan
adalah apabila telah
berusia 18 tahun,
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 47 dan Pasal 50, yang berturut-turut
menentukan : Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa :
“Anak yang belum mencapai 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan ada di bawah
kekuasaan orang tuanya
selama mereka tidak
dicabut dari kekuasaannya”. Pasal
50 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan menentukan bahwa :
“Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada
di bawah kekuasaan wali”.
Selanjutnya dalam
hukum agraria, tentang
batasan seseorang dianggap dewasa dan
cakap bertindak di
dalam hukum atau
melakukan perbuatan hukum adalah sebagaimana tampak dari Surat
Nomor Dpt.7/539/7.77 tertanggal 13 Juli 1977
yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional yang menyatakan bahwa, bagi
golongan penduduk yang tunduk pada hukum Eropa (mestinya: yang tunduk pada BW)
dan golongan penduduk Cina (mestinya Timur Asing Tionghoa ) dan Timur asing
bukan Cina, umur dewasa dengan mengacu kepada Staatblaad 1924 : 556 dan Staatblaad 1924:
557 adalah 21 tahun. Sedangkan
untuk orang-orang yang tunduk
pada hukum adat ditentukan, apabila seorang Notaris atau PPAT mempergunakan batas
umur 19 atau
20 tahun untuk dewasa
maka hal itu
dapat diterima sebagai benar.
Sementara cakap
bertindak sebagai penghadap
dalam pembuatan akta notaris
ditentukan dalam Pasal
39 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Jo Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2014
tentang Perubahan UndangUndang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang
Jabatan Notaris (selanjutnya disebutUUJN) yang diundangkan pada tanggal 15
Januari 2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2014 Nomor 3
dan dalam Tambahan Lebaran
Negara
Republik Indonesia (TLNRI) Tahun 2014 Nomor 5491, yang menentukan bahwa :
“Penghadap harus memenuhi
syarat sebagai berikut
: (a) paling
rendah telah berumur 18
tahun atau telah
menikah; (b) cakap melakukan
perbuatan hukum”. Cakap bertindak
yang ditentukan oleh Pasal 39 ayat (1)
huruf a UUJN adalah 18
tahun sebagai batasan
umur kecakapan penghadap dihadapan notaris. Notaris dalam sistem
hukum di Indonesia
diberi wewenang dan
tugas untuk membuat akta
otentik dan mencatatkan berbagai
perbuatan-perbuatan hukum dalam bentuk perjanjian-perjanjian dibuat di
bawah tangan serta mengesahkan surat-surat/dokumen-dokumen agar
mempunyai nilai dan
kekuatan sebagai alat bukti.
Perbuatan
hukum adalah perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan
satu pihak saja (bersegi satu) maupun yang dilakukan dua pihak (bersegi dua),
demikian pula dikatakan
oleh Chainur Arrasjid
bahwa perbuatan hukum terdiri
dari 2 (dua), yaitu :
·
Perbuatan hukum sepihak :Yaitu perbuatan
hukum yang dilaksanakan
oleh satu pihak saja dan menimbulkan hak dan
kewajiban pada satu
pihak pula. Misalnya pembuatan surat wasiat dan pemberian
suatu benda (hibah).
·
Perbuatan hukum dua pihak :Yaitu
perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak dan menimbulkan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban bagi kedua pihak
(timbal balik). Misalnya membuat
persetujuan jual beli, sewa menyewa dan lain-lain.
Di
antara perbuatan-perbuatan hukum tersebut seperti membuat
: surat wasiat, perjanjian
sewa-menyewa, pengikatan jual beli dan pemberian kuasa menjual atas sebidang tanah
hak milik,perjanjian hutang-piutang
dan lainnya. Dalam hal perbuatan hukum bersegi dua, dalam lalu lintas hukum dikenal dengan membuat perjanjian.
Perjanjian
menurut Subekti merupakan suatu peristiwa
dimana seseorang berjanji kepada
orang lain atau
di mana 2
(dua) orang itu
saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, yang dalam bentuknya perjanjian itu dapat
dilakukan sebagai suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau
kesanggupan yang diucapkan secara lisan maupun
tertulis.
Demikian
juga dengan Sudikno Mertokusuma mengatakan perjanjian merupakan hubungan
hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan konsekuensi yuridis.
Berdasarkan pada
pendapat diatas suatu
perjanjian merupakan suatu hubungan hukum antara dua pihak, saling
berjanji dan mengikatkan dirinya untuk melakukan atau berbuat sesuatu dalam
mana salah satu pihak berhak atas prestasi yang dilakukan oleh pihak lainnya, sedangkan pihak
lain berkewajiban untuk melakukan hal tersebut dengan disertai
sanksi.
Perjanjian diatur
dalam buku II
tentang Perikatan yang
menamai dengan persetujuan, Pasal 1313 KUHPerdata menentukan bahwa “Suatu
persetujuan adalah perbuatan dengan
mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih”. Dalam suatu perjanjian mempunyai unsu-runsur, yaitu unsur essensialia
yaitu unsur yang bersifat mutlak harus ada dalam suatu perjanjian dimana tanpa
adanya unsur tersebut,
perjanjian tidak mungkin ada. Kemudian unsur naturalia untuk perjanjian yang oleh undang-undang
diatur tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan atau
diganti sedangkan unsur accidentalia merupakan
unsur perjanjian yang
ditambahkan oleh para
pihak sementara undang-undang sendiri
tidak mengatur tentang hal
tersebut. Keseluruhan unsur-unsur yang terkadung dalam suatu perjanjian,
oleh Pasal 1320 KUHPerdata ditentukan sebagai syarat sahnya suatu perjanjian.
Perjanjian dapat
dibuat secara lisan
dan secara tertulis.
Perjanjian tertulis dapat pula
dibedakan antara perjanjian
yang dibuat dibawah
tangan dan dibuat secara
otentik. Suatu perjanjian
dibuat secara otentik
yang lazimnya disebut dengan akta
otentik, merupakan suatu
perjanjian tertulis yang
dibuat dengan memenuhi ketentuan Pasal
1868 KUHPerdata, yang menentukan bahwa
“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh
undangundang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa
untuk itu, dan di
tempat dimana akta
itu dibuatnya”, sehingga
suatu perjanjian yang dibuat
secara otentik merupakan
suatu perjanjian tertulis
yang dibuat dihadapan dan/atau oleh pejabat umum yang berwenang untuk itu, dan
dalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang dan dibuat di wilayah kewenangan pejabat umum yang berwenang
membuat akta tersebut.
Sebaliknya suatu perjanjian
di bawah
tangan
yang lazim juga disebut akta di bawah tangan merupakan perjanjian yang
dibuat oleh para
pihak tanpa bantuan
pejabat umum yang
berwenang untuk membuat suatu
perjanjian. Kedudukan masing-masing akta tersebut berbeda satu dengan yang
lainnya. Suatu akta
otentik kedudukannya sebagai
alat bukti yang mempunyai kekuatan sebagai alat bukti
sempurna, artinya sebagai alat bukti suatu akta
otentik tidak memerlukan
alat bukti lain
untuk membuktikan sesuatu peristiwa atau perbuatan hukum.
Sementara akta di bawah tangan kedudukannya sebagai alat
bukti yang tidak
mempunyai kekuatan pembuktian
sempurna, oleh karenanya kedudukannya
sangat tergantung pada alat bukti lain seperti pengakuan dari pihak-pihak
yang membuat perjanjian,
yang mengakui atau
menyatakan bahwa perjanjian tersebut benar adanya.
Salah satu
akta otentik adalah
akta yang dibuat
dihadapan dan/atau oleh notaris
sebagai pejabat umum
sebagaimana dimaksud ketentuan
Pasal 1868 KUHPerdata. Suatu
akta notaris sebagai
akta otentik, selain
harus dibuat memenuhi ketentuan
Pasal 1868 KUHPerdata seperti di atas juga harus memenuhi syarat sahnya suatu
perjanjian sebagaimana ditentukan Pasal 1320 KUHPerdata. Sebab akta notaris
sebagai akta otentik pada umumnya merupakan perjanjian yang dengan sengaja
dibuat oleh para
pihak agar mempunyai
kekuatan pembuktian sempurna. Oleh
karenanya,
perjanjian-perjanjian yang dibuat
dalam bentuk akta notaris harus memenuhi syarat yaitu :
(1) para pihak telah sepakat tentang hal-hal yang diperjanjikan dalam akta; (2)
para pihak yang membuat akta adalah mereka yang
telah memenuhi kriteria
cakap bertindak menurut
hukum; (3) obyek
yang diperjanjikan di dalam
akta sebagai obyek
perjanjian merupakan sesuatu
hal tertentu; dan (4) perjanjian yang dibuat dan dituangkan dalam bentuk
akta notaris lahir dari suatu sebab yang halal atau obyek perjanjian dalam akta
notaris bukan merupakan obyek yang
dilarang oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku, oleh
norma agama, norma
kesusila maupun norma-norma
kepatutan lainnya. Dari keseluruhan
syarat sah dibuatnya
akta notaris seperti
di atas, salah satunya
yang hendak dikaji
dalam tulisan ini
adalah tentang syarat
para pihak yang membuat
akta notaris adalah
mereka yang telah
memenuhi kriteria cakap bertindak menurut
hukum atau yang
dalam ketentuan Pasal
1320 KUHPerdata disebut sebagai
syarat cakap mereka
yang mengikatkan dirinya.
Dalam UUJNtentang hal
diatur dalam ketentuan
Pasal 39 ayat
1 huruf a
dan b yang menentukan bahwa
: “(a) paling
rendah telah berumur
18 tahun atau
telah menikah; (b) cakap
melakukan perbuatan hukum”.
Dari kedua syarat
yang dimaksud dalam ketentuan
tersebut, syarat huruf
b yang menentukan
cakap melakukan perbuatan merupakan ketentuan yang tumpang tindih kalau
tidak mau disebut sebagai konflik norma dengan ketentuan huruf a untuk dapatnya
seseorang dikatakan memenuhi syarat
sebagai penghadap atau
yang dalam praktek kenotarisan disebut
dengan istilah komparan,
karena para penghadap
yang bertindak sebagai pihak-pihak yang membuat akta notaris disebut
dengan istilah komparisi, sehingga dapat
mengaburkan makna dari
norma yang terkandung dalam huruf
a. Dikatakan demikian
karena menurut hemat
penulis, ketentuan huruf a
dimaksudkan sebagai ketentuan
normatif yang menjelaskan
dengan menentukan batasan umur
seseorang, yakni 18
tahun atau telah
menikah untuk dapat atau tidak
dapatnya seseorang bertindak dalam akta notaris. Norma dalam ketentuan huruf
a tersebut bertujuan
menjelaskan sekaligus memberi
batasan secara limitatif usia seseorang untuk dapat sebagai komparan
yang secara yuridis menjadi legitimasi kepada seseorang telah cakap bertindak
di dalam hukum atau cakap melakukan perbuatan
hukum. Dengan adanya
ketentuan huruf b yang
mensyaratkan seseorang dapat
bertindak sebagai penghadap/komparan adalah mereka yang cakap melakukan perbuatan
hukum menjadikan ketentuan Pasal 39 ayat
(1) menjadi kabur,
karena sekali lagi,
terhadapnya memerlukan penjelasan atau kajian
tentang apa kriteria
dan keadaan bagaimana
seseorang agar dapat dikatakan dan memenuhi syarat cakap
melakukan perbuatan hukum tersebut.
Kecakapan bertindak
merupakan kewenangan umum untuk
melakukan tindakan hukum. Setelah
manusia dinyatakan mempunyai
kewenangan hukum maka selanjutnya
kepada mereka diberikan kewenangan untuk melaksanakan hak dan kewajibannya
oleh karenanya diberikan
kecakapan bertindak. Di
satu sisi, manusia adalah
subyek hukum sebagai
pengemban hak dan
kewajiban hukum yang kemudian
diejawantahkan ke dalam
bentuk kewenangan hukum.
Terkait dengan hak terdapat
kewenangan untuk menerima,
sedangkan terkait dengan kewajiban terdapat
kewenangan untuk bertindak
(disebut juga kewenangan bertindak).Kewenangan hukum
dimiliki oleh semua
manusia sebagai subyek hukum, sedangkan kewenangan bertindak
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya faktor usia,
status (menikah atau belum), status sebagai ahli waris, dan lain-lain.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1329
KUHPerdata yang menentukan bahwa :
“Setiap orang
adalah cakap untuk
membuat perikatan-perikatan, jika
ia oleh undang-undang tidak
dinyatakan cakap”. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa kecakapan bertindak
berlaku bagi semua orang, setiap orang pada asasnya cakap untuk bertindak,
kecuali undang-undang menentukan lain. Kecakapan bertindak
(handelingsbekwaamheid) adalah kewenangan
umum, yang dipunyai oleh persoon pada umumnya, untuk
melakukan tindakan hukum
pada umumnya. Sehingga untuk
mampu membuat suatu
perjanjian, oleh karenanya
dipandang telah dewasa sehingga
tidak dibawah pengawasan karena
perilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam
undang-undang dilarang membuat suatu perjanjian.
Cakap
tidaknya seseorang bertindak
di dalam hukum
dapat pula dihubungkan dengan
keadaan diri seseorang, yaitu seorang telah dewasa atau akil balik, sehat
jasmani maupun rohani,
dianggap cakap menurut
hukum sehingga dapat untuk
melakukan tindakan hukum atau membuat suatu perjanjian.
Selain faktor
kedewasaan yang ditentukan
oleh umur juga
oleh faktor lain seperti status menikah yang dapat
mempengaruhi kecakapan bertindak seseorang di dalam hukum. Menurut hukumyang
berlaku saat ini, setiap orang tanpa kecuali memiliki hak-haknya, selain itu
dalam hukum juga ditentukan bahwa tidak semua orang diperbolehkan
melakukan perbuatan hukum
sendiri dalam melaksanakan hak-haknya. Sebab
terdapat beberapa golongan
orang yang oleh
hukum dinyatakan tidak cakap
untuk melakukan perbuatan
hukum sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata
menyatakan bahwa :Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :
·
Orang yang belum dewasa;
·
Orang yang ditaruh di bawah pengampuan;
·
Orang-orang
perempuan, dalam hal-hal
yang ditetapkan oleh
Undangundang, dan pada
umumnya semua orang
kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.
Dari
deskripsi di atas, ternyata bahwa kedewasaan dan kecakapan menjadi penting ketika
dihadapkan pada syarat
sahnya subyek hukum
dalam melakukan perjanjian dalam
bentuk tertulis secara otentik dalam suatu akta notaris, karena hal tersebut
berkorelasi pada kepastian,
ketertiban dan perlindungan
hukum sebagaimana tujuan hukum pada umumnya. Sedangkan dalam lalu lintas
hukum pembuktian khususnya, hal
tersebut diperlukan oleh karena akta
notaris sebagai akta otentik
diharapkan menjadi alat
bukti kuat yang
menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang dalam suatu
perjanjian yang dibuatnya. Hal tersebut semakin
menjadi kebutuhan masyarakat
modern yang senantiasa
menghendaki adanya
pendokumentasian terhadap peristiwa/perbuatan hukum
yangdilakukannya.
Notaris
sebagai sebuah jabatan yang ditugaskan dan diberi wewenang untuk mewujudkan tujuan
hukum atau kebutuhan
hukum pembuktian seperti
tersebut, memegang peranan penting
sehingga segala kegiatan
ekonomi seperti di
bidang perbankan,
pertanahan, maupun kegiatan
sosial lainnya yang
membutuhkan kehadiran jabatan notaris dapat berjalan sesuai dengan
norma-norma atau kaedahkaedah hukum yang berlaku. Sehingga berbagai hubungan atau perbuatan
hukum yang dilakukan oleh setiap orang bertujuan untuk memberi jaminan dan
kepatian hukum yang dalam sistem hukum hanya dapat dituangkan di dalam akta
notaris, menempatkan notaris sebagai pejabat tempat seseorang dapat memperoleh
nasihat yang dapat diandalkan dan segala sesuatu yang ditulis serta
ditetapkannya adalah benar, ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu
proses hukum.
Berdasarkan uraian di
atas memberikan gambaran bahwaperbedaan batasan usia dewasa
sebagai syarat agar
dapat dikatagorikan cakap
bertindak di dalam hukum
atau dapat dikatakan
sebagai cakap dalam
melakukan perbuatan hukum, selain
berimplikasi dan membawa
konsekuensi yuridis terhadap
sah atau tidak sahnya seseorang berkedudukan menjadi
subyek hukum sebagai pengemban hak dan kewajiban hukum berikut sah atau tidak
sahnya segala tindakan-tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukannya. Juga
berimplikasi terhadap sah atau tidak sahnya
kedudukan seseorang sebagai
pengahadap/komparan dalam suatu
akta notaris berikut berkonsekuensi yuridis
terhadap kekuatan hukum
daripada akta notaris sebagai
akta otentik yang dibuatnya. Implikasi
hukum yang dapat timbul dari konflik norma di atas adalah sebagai berikut:
Pertama, bagaimanakah
pengaturan tentang kecakapan
batasan umur bertindak seseorang
dalam pembuatan akta
notaris yang mengandung
peralihan hak atas tanah?
Kedua, bagaimana
keberadaan atau kedudukan
kecakapan batasan umur dalam akta notaris yang mengandung
peralihan hak atas tanah?
Dengan kata
lain, perbedaan pengaturan
hukum tentang kedewasaan seseorang dalam berbagai ketentuan
di atas, dapat memicu timbulnya perbedaan persepsi yang
menjadi masalah hukum
terutama dalam praktek
dibuatnya akta notaris yang
pada akhirnya melahirkan
ketidakpastian hukum atau
kurang memberi perlindungan hukum
bagi pihak-pihak yang
memperoleh hak dariperbuatan hukum akta notaris. Padahal
akta notaris sebagai akta otentik berisikan hubungan hukum yang dilakukan dan
sekaligus mengatur antara orang yang satu dengan orang yang lain dan mungkin
antara orang dengan masyarakat, atau antara masyarakat yang
satu dengan yang
lain. Karena dalam
suatu hubungan hukum, para
pihak masing-masing memiliki
hak dan kewajiban
yang diberikan oleh hukum,
yaitu pihak yang
satu berhak menuntut
sesuatu dan pihak
lain wajib memenuhi tuntutan
tersebut dan hak ini berlaku sebaliknya secara timbal balik.
2. CAKAP TAPI TIDAK BERWENANG
Seseorang
yang telah cakap menurut hukum mempunya wewenang bertindak dalam hukum. Tetapi
di samping itu UU menentukan beberapa perbuatan yang tidak berwenang di lakukan
oleh orang cakap tertentu.
1. Tidak
boleh mengadakan jual beli antar suami istri (pasal 1467 KUH perdata) disini
suami adalah cakap, tapi tidak berwenang
menjual apa saja kepada istrinya.
2. Larangan
kepada pejabat umum (hakim, jaksa, panitera, advocat, juru sita, notaris) untuk
menjadi pemilik kareana penyerahan hak-hak, tuntutan-tuntutan yang sedang dalam perkara (pasal 1468 KUH
Perdata).
3. Apabila
hakim terikat hubungan keluarga sedarah
atau semenda dengan ketua, seorang hakim anggota, jaksa, penasihat hukum,
panitera, dalam suatu perkara tertentu
ia wajib mengunndurkan diri dari pemeriksaan perkara itu, begitu pula ketua,
hakim anggota, jaksa panitera, terikat
hubungan keluarga dengan yang di adili ia wajib mengundurkan diri.
(pasal 28 UU. No.14/1970).
:
Contoh kasus :
Dapatkah suatu
perjanjian yang di buat oleh seorang
direktur suatu cv yang masih berusia 18 tahun di minyakan pembatalan ?
Jawaban:
Permintaan pembatalan
tersebut dapat dilakukan, karena KUHPerdata telah mengtur secara jelas tengtang
sahnya suatu perjanjian tersbut terdapat di dalam pasal 1320 KUHPerdata, yaitu,
“untuk sahnya suatu perjanjian dilakukan empat syarat, yakni:
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3.
Suatu hal tertentu
4.
Suatu sebab yang halal
Di dalam kasus ini
unsur-unsur dari pasal 1320 tidak dapat di penuhi. Tidak dapat di penuhi yang
di maksud adalah kecakapan untuk membuat suatu perikatan, bhwa umur seseorang
direktur cv tersebut asih 18 tahun dan di anggap tidak cakap.
Pengertian cakap di
maksud terdapat pada pasal 1330 KUHPerdata yang isinya sebagai berikut :
1.
Orang-orang yang belum dewasa
2.
Mereka yang sedang di taruh di bawah pengampuan
3.
Perempuan, dalam hal-hal yang di
terapkan dalam UU dan pada umumnya semua orang kepada siapa UU telah melarang
membuuat perjanjian-perjanjian tertentu, di dalam pasal 1320 dan 1330, kita
belum menemukan batasan umur yang di maksud.
Dalam hal ini aakn di
jawab oleh pasal 330 KUHPerdata tentang pengertian belum dewasa pada pasal 1330
KUHPerdata, yang berisi sebagai berikut :
pasal
330 KUHPerdata
“belum
dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan
tidak lebih dahulu telah kawin”
Ø Apabila
perkawinan itu di bubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka
mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.
Ø Dalam
paham perkawinan tidaklah termasuk anak-anak.
Jelaslah bahwa
perjanjian yang di buat oleh direktur CV
tersebut dapat di batalkan, secara singkat dapat di jelaskan sebagi berikut :
Ø 18
tahun = tidak cakap
Ø Tidak
cakap = belum dewasa
Ø Belum
dewasa = belum mencapai umur genap 21 tahun
Orang
yang tidak cakap dalam kategori pengampuan
Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang karena sifat-sifat pribadinya
dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak di
dalam lalu lintas hukum, karena dianggap tidak cakap maka guna menjamin dan
melindungi hak-haknya, hukum memperkenan seseorang untuk dapat bertindak
sebagai wakil dari orang yang berada dibawah pengampuan.
Pengampuan diatur dalam buku I KUHPerdata. Adapun syarat-syarat seseorang
berada dibawah pengampuan adalah sebagaimana diatur dan dimaksud Pasal 433
KUHPerdata :
“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam
keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan,
sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh
juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan”
Berdasarkan ketentuan Pasal 433 di atas jelas dan tegas, kondisi sakit
jiwa, permanen atau tidak, merupakan hal yang mutlak seseorang dapat
ditempatkan dibawah pengampuan. Namun demikian, orang yang suka berfoya-foya
pun dapat dimintakan pengampuan.
Siapa saja yang berhak meminta dan dapat ditetapkan
sebagai pemegang hak pengampuan ? Pasal 434 KUHPerdata menjelaskan secara tegas
bahwasanya Setiap keluarga sedarah berhak minta pengampuan keluarga
sedarahnya berdasarkan keadaan dungu, gila atau mata gelap. Disebabkan
karena pemborosan, pengampuan hanya dapat diminta oleh para keluarga
sedarah dalam garis lurus, dan oleh mereka dalam garis samping sampai
derajat keempat. Barang siapa karena lemah akal pikirannya, merasa tidak cakap
mengurus kepentingan sendiri dengan baik, dapat minta pengampuan bagi dirinya
sendiri.
Jadi, sesuai dengan ketentuan Pasal 434 KUHPerdata, tidak semua orang dapat
ditunjuk dan ditetapkan sebagai pemegang hak pengampuan. Hukum mensyaratkan
hanya orang yang memiliki hubungan darah saja yang dapat mengajukan dan
ditetapkan sebagai pemegang hak pengampuan. Bahkan terhadap saudara semenda
(hubungan persaudaraan karena tali perkawinan) pun, hukum tetap mengutamakan
orang yang memiliki hubungan darah sebagai pemegang hak pengampuan.
Dalam menetapkan seseorang diletakkan pengampuan, Pengadilan Negeri terikat
dan harus tunduk pada ketentuan pasal-pasal sebagai berikut :
Pasal 438 KUHPerdata : Bila Pengadilan Negeri berpendapat, bahwa
peristiwa-peristiwa itu cukup penting guna mendasarkan suatu pengampuan, maka
perlu didengar para keluarga sedarah atau semenda.
Pasal 439 KUHPerdata : Pangadilan Negeri setelah mendengar atau memanggil
dengan sah orang-orang tersebut dalam pasal yang lalu, harus
mendengar pula orang yang dimintakan pengampuan, bila orang itu tidak
mampu untuk datang, maka pemeriksaan harus dilangsungkan di rumahnya oleh
seorang atau beberapa orang Hakim yang diangkat untuk itu, disertai oleh
panitera, dan dalam segala hal dihadiri oleh jawatan Kejaksaan.
Bila rumah orang yang dimintakan pengampuan itu terletak dalam jarak
sepuluh pal dari Pengadilan Negeri, maka pemeriksaan dapat dilimpahkan kepada
kepala pemerintahan setempat. Dan pemeriksaan ini, yang tidak perlu dihadiri
jawatan Kejaksaan, harus dibuat berita acara yang salinan otentiknya dikirimkan
kepada Pengadilan Negeri.
Pemeriksaan tidak akan berlangsung sebelum kepada yang dimintakan
pengampuan itu diberitahukan isi surat permintaan dan laporan yang memuat
pendapat dari anggota-anggota keluarga sedarah.
Pasal 440 KUHPerdata : Bila Pengadilan Negeri, setelah mendengar atau
memanggil dengan sah keluarga sedarah atau semenda, dan setelah mendengar pula
orang yang dimintakan pengampuan, berpendapat bahwa telah cukup keterangan yang
diperoleh, maka Pengadilan dapat memberi keputusantentang surat permintaan itu
tanpa tata cara lebih lanjut, dalam hal yang sebaliknya, Pengadilan Negeri
harus memerintahkan pemeriksaan saksi-saksi agar peristiwa-peristiwa yang
dikemukakannya menjadi jelas.
Pasal 441 KUHPerdata : Setelah mengadakan pemeriksaan tersebut dalam Pasal
439, bila ada alasan, Pengadilan Negeri dapat mengangkat seorang pengurus
sementara untuk mengurus pribadi dan barang-barang orang yang dimintakan
pengampuannya.
Pasal 442 KUHPerdata : Putusan atas suatu permintaan akan pengampuan harus
diucapkan dalam sidang terbuka, setelah mendengar atau memanggil dengan sah
semua pihak dan berdasarkan kesimpulan Jaksa
Cakap
dalam kategori pendawasaan
Pendewasaan ini ada 2 macam, yaitu pendewasaan penuh dan pendewasaan untuk
beberapa perbuatan hukum tertentu (terbatas). Keduanya harus memenuhi syarat
yang ditetapkan undang-undang. Untuk pendewasaan penuh syaratnya telah
berumur 20 tahun penuh. Sedangkan untuk pendewasaan terbatas syaratnya
ialah sudah berumur 18 tahun penuh (pasal 421 dan 426 KUHPerdata).Untuk pendewasaan penuh, prosedurnya ialah yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Presiden RI dilampiri dengan akta kelahiran atau surat bukti lainnya. Presiden setelah mendengar pertimbangan Mahkamah Agung, memberikan keputusannya. Akibat hukum adanya pernyataan pendewasaan penuh ialah status hukum yang bersangkutan sama dengan status hukum orang dewasa. Tetapi bila ingin melangsungkan perkawinan ijin orang tua tetap diperlukan.
Untuk pendewasaan terbatas, prosedurnya ialah yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang dilampiri akta kelahiran atau surat bukti lainnya. Pengadilan setelah mendengar keterangan orang tua atau wali yang bersangkutan, memberikan ketetapan pernyataan dewasa dalam perbuatan-perbuatan hukum tertentu saja sesuai dengan yang dimohonkan, misalnya perbuatan mengurus dan menjalankan perusahaan, membuat surat wasiat. Akibat hukum pernyataan dewasa terbatas ialah status hukum yang bersangkutan sama dengan status hukum orang dewasa untuk perbuatan-perbuatan hukum tertentu.
Dalam hukum Perdata, belum dewasa adalah belum berumur umur 21 tahun dan belum pernah kawin. Apabila mereka yang kawin belum berumur 21 tahun itu bercerai, mereka tidak kembali lagi dalam keadaan belum dewasa. Perkawinan membawa serta bahwa yang kawin itu menjadi dewasa dan kedewasaan itu berlangsung seterusnya walaupun perkawinan putus sebelum yang kawin itu mencapai umur 21 tahun (pasal 330 KUHPerdata).
Hukum perdata memberikan pengecualian-pengecualian tentang usia belum dewasa yaitu, sejak berumur 18 tahun seorang yang belum dewasa, melalui pernyataan dewasa, dapat diberikan wewenang tertentu yang hanya melekat pada orang dewasa. Seorang yang belum dewasa dan telah berumur 18 tahun kini atas permohonan, dapat dinyatakan dewasa harus tidak bertentangan dengan kehendak orang tua.
Dari uraian tersebut kita lihat bahwa seorang yang telah dewasa dianggap mampu berbuat karena memiliki daya yuridis atas kehendaknya sehingga dapat pula menentukan keadaan hukum bagi dirinya sendiri. Undang-undang menyatakan bahwa orang yang telah dewasa telah dapat memperhitungkan luasnya akibat daripada pernyataan kehendaknya dalam suatu perbuatan hukum, misalnya membuat perjanjian, membuat surat wasiat.
Bila hakim berpendapat bila seseorang dinyatakan dewasa maka ia harus menentukan secara tegas wewenang apa saja yang diberikan itu. Setelah memperoleh pernyataan itu, seorang yang belum dewasa, sehubungan dengan wewenang yang diberikan, dapat bertindak sebagai pihak dalam acara perdata dengan domisilinya. Bila ia menyalahgunakan wewenang yang diberikan maka atas permintaan orang tua atau wali, pernyataan dewasa itu dicabut oleh hakim
KESIMPULAN
Ketidakseragaman batasan usia dewasa atau batasan usia
anak pada berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia memang kerap
menimbulkan pertanyaan mengenai batasan yang mana yang seharusnya digunakan.
Berikut di bawah ini beberapa pengaturan batasan usia anak dan dewasa menurut
peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia yang kami sarikan dari buku Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur
(Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Batasan Umur) terbitan
NLRP.
Tabel 1: Umur Anak/belum dewasa
Dasar Hukum
|
Pasal
|
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(Burgerlijk Wetboek)
|
Pasal 330
Yang belum
dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu
tahun dan tidak kawin sebelumnya.
|
Pasal 47
Anak yang
dimaksud dalam UU Perkawinan adalah yang belum mencapai 18 tahun.
|
|
Pasal 1
angka 26
Anak
adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun
|
|
Pasal 1
angka 8
Anak didik
pemasyarakatan adalah:
a. Anak
pidana, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di
LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
b. Anak
negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara
untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18
(delapan belas) tahun;
c. Anak
sipil, yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh
penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS anak paling lama sampai
berumur 18 (delapan belas) tahun.
|
|
Pasal 1
Anak
adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8
(delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin
|
|
Pasal 1
angka 5
Anak
adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan
belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut
adalah demi kepentingannya.
|
|
Pasal 1
ayat (1)
Anak
adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
|
|
Pasal 1
ayat (4)
Anak
adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun.
|
|
Pasal 4
Warga
Negara Indonesia adalah: a–g ...
anak yang
lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang
diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan
itu dilakukan sebelum anak tersebut berumur 18 (delapan belas) tahun atau
belum kawin.
|
|
Pasal 1
angka 5
Anak
adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
|
Tabel 2: Umur Dewasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar